Sabtu, 01 April 2017

Tingginya Nilai Ultimatum Perang Belanda-Aceh

PROKLAMASI perang kolonial Belanda pada 26 Maret 1873 ke atas Aceh, merupakan klimaks dari luapan emosi yang tidak terkendali, ditindih pula oleh logika ‘keniscayaan’ yang percaya bahwa jika Aceh berhasil dicaplok, niscaya sempurnalah sudah prestasi kolonial Belanda di wilayah Nederlands East Indie, karena Acehlah satu-satunya negeri terletak paling ujung Sumatera yang belum berhasil ditaklukkan oleh Belanda.
Selain itu, Aceh dianggap aral-perintang kelancaran lintas dagang Belanda melintasi Selat Malaka menuju kawasan dunia Arab dan Eropa --terutama setelah Terusan Suez beroperasi pada 1869-- karena Aceh-Inggris berpengaruh dan merupakan pemegang kuasa di Selat Melaka berdasarkan perjanjian (1603) dan (1819). Padahal melalui Traktat London 1824, Belanda-Inggris berjanji menghormati kedudukan Aceh sebagai sebuah negara berdaulat dan menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh. Untuk memperkuat komitmennya, Belanda-Aceh menandatangani perjanjian pada 1857.
Di belakang layar, Belanda melancarkan provokasi supaya Inggris membatalkan perjanjian Raffles (1819) dengan Aceh, karena isinya dianggap merugikan seluruh orang Eropa, kecuali Inggris. Di luar dugaan, Inggris pun terpedaya dengan provokasi ini, sehingga lahirlah perjanjian Sumatera 1871, di mana Inggris memberi laluan kepada Belanda menyerang Aceh dengan kekuatan militer.
Berbekal logika ‘keniscayaan’ dan sokongan Inggris, maka sebuah kapal perang Belanda merapat ke perairan Aceh dan ER Krayenhoff (juru runding Belanda) yang berada dalam kapal itu menitip pesan singkat: ‘Aceh mesti menyerah kepada Belanda atau menyediakan satu kota untuk pangkalan militer Belanda’ (The New York Times, 6 Mei 1873), yang mengutus Sidi Tahil menyampaikan kepada Sultan Aceh.
Ultimatum perang
Setelah missi ER Krayenhoff ini gagal, kapal itu menghilang dari perairan Aceh. Barulah kemudian muncul ultimatum perang pada 26 Maret 1873, berisi: (1). Aceh supaya menyerah tanpa syarat, (2). Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda, (3). Hentikan melanun di Selat Melaka,(4). Serahkan semua wilayah Sumatera yang berada di bawah perlidungan Aceh, dan (5). Putuskan hubungan diplomatik dengan kekhalifahan Utsmaniyah Turki.

Dalam sejarah penjajahan Belanda di Eropa yang pernah mengalahkan Inggris, di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara; Belanda tidak pernah mengumumkan perang secara resmi, terkecuali kepada Aceh. Ini berarti perang melawan Aceh merupakan pengecualian dari segala perang yang pernah dilancarkan Belanda di atas belahan dunia.
Apa pun dalihnya untuk menyerang Aceh, Belanda telah mengenyampingkan segala pertimbangan etika moral yang sanggup mengkhianati isi Traktat London 1824 dan perjanjian 1857 dan tidak sadar kalau Belanda melancarkan perang (Ultimatum 1, 2, 4 dan 5) ke atas Aceh (sebuah negara berdaulat dan merdeka).
Sebelumnya, pemerintah Turki dan pegawai sipil kolonial Belanda sudah menyampaikan nasihat kepada Raja Belanda supaya tidak menyerang Aceh, karena permasalahan Aceh tidak sama dengan yang berlaku di Jawa dan di Siak. ‘Aceh mempunyai kekuatan pertahanan, hubungan ekonomi dan politik Internasional dengan Inggris, Prancis dan Amerika Serikat. (Paul Van ‘t Veer: 1985, hlm. 55).
L.W.C. Keuchenius (anggota Raad van Indë 1859-1864) juga mengutuk keras rencana Belanda menyerang Aceh, begitu pula James Loudon (Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1861-1874) berpendapat bahwa “setiap perluasan kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara, disifatkan sebagai satu langkah lebih dekat menuju keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda, akan merendahkan wibawa, menelan kepahitan dan bermulanya kehancuran ekonomi Belanda, sekaligus memperjudikan nasib penduduk bangsa Eropa (78.000 orang) yang tinggal di seluruh wilayah Hindia Belanda.”

(Tulisan ini ditulis oleh salah seorang salah seorang pejuang aceh yang hingga saat ini terus memberikan tulisan-tulisan terbaiknya dalam lingkup sejarah dan keberlangsungan bangsa Aceh yaitu Yusra Habib Abdul Ghani)

Selasa, 21 Maret 2017

Surga Kepulauan di Selatan Aceh

Salah satu surga di Aceh
Sarana pariwisata Indonesia tentunya memiliki puluhan bahkan ratusan objek  yang sangat terkenal, salah satunya bali dan raja ampat, yang menjadi dinasti kiblat wisata Indonesia. Namun siapa sangka dibalik nama daratan Aceh, khususunya pada bagian selatan Aceh terdapat suatu gugusan kepulauan yang sangat indah bahkan kerap dinamai sebagai surga yang tersembunyui di daratan wilayah Aceh. ya, namanya pulau banyak. Sesuai dengan namanya, pulau memiliki puluhan pulau-pulau yang menjadi dinasti alam yang luar biasa, beberapa pulau yang sangat terkenal yakni pulau balai, pulau tailana, pulau palambak, pulau bankaru, pulau asok dan pulau-pulau lainnya. Keberadaan kepualauan ini  sejatinya sudah sangat lama, akan tetapi baru terekspos penuh bagi wisatawan domestik dalam 2 tahun belakangan ini dan wisatawan asing 4 tahun belakang.

Paket wisata yang memanjakan mata para pengunjung ini merupakan suatu tempat yang masih sangat tertingal bila di bandingkan dengan wilayah yang juga memiliki kekayaan nilai pariwisata lainnya di Indonesia, bahkan untuk listrik para wisatawan di berbagai pulau wisata masih sangat minim yang hanya mempergunakan pembangkit diesel kapasitas kecil ditambah lagi dengan sarana transportasi yang kurang memadai akan keselamatan wisatawan. Namun begitu, keadaan inilah yang menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan untuk menikmati keadaan yang serba tradisional.

Dalam gugusan pulau tersebut ada sebuah pulau yang menjadi kelebihan tersendiri  yang tidak dimiliki oleh tempat lain, yakni pulau bankaru. Pulau ini pertama kali di temukan oleh warga asing Marcus Keeshan pada tahun 2001 dengan ombaknya yang mencapai 6 meter dan tempat habitatnya penyu-penyu langka. Disamping kelebihan pulau bankaru tersebut, pulau banyak masih memiliki puluhan pulau yang memungkinkan untuk dijadikan dinasti pariwisata yang menawarkan wisata bawah laut dan pemandangan yang patut diperhitungkan bila dibandingkan dengan kawasan wisata lain yang ada di indonesia.

Sepintas terpikir untuk bisa mengembangkan kawasan ini, namun siapa sangka bahwa perencanaan perkembangan kawasan wisata ini terus menjadi suatu problematika di kawasan tersebut yang sulit untuk dikembangkan seperti yang diutarakan oleh bapak zainal abidin, salah seorang kordinator pendidikan dikawasan tersebut, "banyak proyek yang ingin dikembangkan dan diterapkan namun banyak faktor lain yang membuat warga tidak mau menerima pengembangan tersebut". Semoga kedepannya ada solusi yang  bisa ditawarkan oleh pemerintah demi memajukan daerah yang sangat potensial tersebut. [MAS]